Kamis, 06 September 2018

UFO: Menguak Tabir, Membelah Makna

UFOMenguak Tabir, Membelah Makna

-sebuah cara memahami Allah-
oleh : Haryanto Soedjatmiko[1]


“Sampai beberapa waktu yang lalu, orang dapat menganggap manusia sebagai pusat alam semesta, dengan kedudukan bumi itu dalam sistem matahari. Sekarang kita tahu di mana kedudukan bumi itu, dan bahwa sebenarnya terdapat ratusan milyar matahari dalam bimasakti kita, dan ratusan milyar galaksi di luar batas-batas kemampuan teleskop yang terbesar. Tak pernah lagi martabat manusia serta tanggung jawabnya dapat didasarkan atas sifatnya yang sentral dan mikroskopis” (terjemahan dari Oppenheimer, 1953, 83)

Pendahuluan


                “Bagaimanakah pemahaman akan UFO dapat dijelaskan?” Pertanyaan ini secara spontan muncul dalam diri saya ketika membaca pengumuman lomba essay “Alien dan UFO” di kampus STF Driyarkara. Lagipula wacana seputar hal ini sama sekali tidak pernah disinggung dalam bangku perkuliahan. Maka, proses yang terjadi selama mempersiapkan sampai dengan kemudian menjadi sebuah tulisan menjadi hal yang menantang.
            Tulisan ini dibagi dalam tiga bagian. Pertama, akan dibicarakan secara singkat  mengenai definisi UFO dan kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan pandangan yang mendukung dan menentang eksistensi UFO. Pada bagian kedua, pandangan mengenai adanya UFO akan ditelaah lebih lanjut dengan meminta pertanggungjawaban dari Andre Kole, seorang penulis Mind Games. Selanjutnya, ketiga, pembicaraan mengenai UFO akan diletakkan di dalam pemikiran Blaise Pascal mengenai “pertaruhan hidup manusia”. Di situ juga akan disampaikan bagaimana ternyata dengan mengakui adanya makhluk lain di luar angkasa akhirnya kita akan sampai kepada pemahaman akan Allah. Tulisan ini akan ditutup dengan sebuah pandangan singkat .
 
Menguak Tabir UFO

a.      Definisi Singkat[2]
UFO adalah singkatan dari Unidentified Flying Object, yang artinya benda terbang tak dikenal atau “Benda Terbang Aneh” (BETA). Istilah BETA dipergunakan oleh Marsekal Muda TNI (purn) J. Salatun, seorang penyelidik UFO senior Indonesia. UFO tidak harus merupakan sebuah pesawat luar angkasa, namun termasuk segala sesuatu yang terlihat di angkasa dan tak dapat dijelaskan.
Ilmu yang menyelidiki fenomena tentang UFO dinamakan Ufologi, sementara orang yang melakukan penyelidikan mengenai UFO disebut Ufolog. Makhluk yang membawa UFO disebut sebagai Ufonaut dan umumnya lebih sering disebut dengan istilah: E.T. atau ALF (Alien Life Form). E.T. adalah singkatan dari Extra Terrestrial, yang artinya berasal dari luar bumi. Karena ada teori yang mengatakan bahwa makhluk UFO bisa saja berasal dari bumi (dari dalam bumi atau dasar laut), maka penggunaan istilah “alien” lebih sering digunakan daripada E.T. Sedangkan penggunaan istilah “Piring Terbang” pertama kali digunakan oleh pilot Kenneth Arnold yang melihat sembilan obyek terbang aneh dalam suatu formasi di atas gunung Rainier, pegunungan Cascade, Washington. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 24 Juni 1947.[3] Sejak itu, masalah UFO banyak dibicarakan orang.

b.      Disputasi pro dan kontra
Pembicaraan mengenai UFO bukanlah sebuah hal yang baru. Artinya, permasalahan itu pernah diperbincangkan banyak orang. Salah satu di antaranya adalah ketika permasalahan UFO ini diangkat di dalam forum PBB pada tanggal 27 Nopember 1978.[4] Pada hari itu masalah UFO dibicarakan di dalam Komite Politik Khusus dari Majelis Umum PBB dalam sidangnya yang ke-33, dengan mata acara no. 126 yang berbunyi: Pembentukan suatu badan atau bagian dari PBB untuk melakukan, mengkordinasikan dan menyebarluaskan hasil penelitian UFO dan gejala-gejala yang bertalian. Dengan demikian masalah UFO yang kontroversial itu, yang sebelumnya telah 31 tahun lamanya menjadi pemberitaan dunia, akhirnya menjadi pembicaraan resmi di forum PBB.

Apakah UFO itu benar-benar ada? Tidak mudah dikatakan. Sebab, dengan seseorang menjawab “ya” atau “tidak”, misalnya, berarti ia akan dikenakan sejumlah pertanyaan lanjutan untuk mempertanggungjawabkan jawab yang telah diberikan. Maka, selanjutnya, akan disampaikan dua pandangan umum mengenai UFO, yakni yang mendukung (pro) dan yang menentang (kontra).

                Untuk menyampaikan pandangan yang pertama (pro), saya akan mendasarkan diri pada beberapa sumber yang menyebutkan adanya penampakan-penampakan seputar UFO. Di dalam encyclopedia of the unexplained (1974)[5] disebutkan tentang adanya puncak-puncak kegiatan yang tampak pada tahun 1947, 1948, 1950, dan yang sangat penting adalah pada tahun 1952. Menurut ensiklopedi tersebut, laporan penampakan datang dari perorangan dari berbagai lapisan pekerjaan dan khususnya dari para pilot pesawat terbang. Salah satu di antaranya adalah sebuah laporan yang dibuat oleh Kapten Clarence S Chiles bersama kopilotnya, John B Whitted, dari sebuah DC-3 (Dakota) Eastern Airlines:
“Pada pukul 2:45 dini hari pada 23 Juli 1948, pada cuaca malam yang cerah tanpa awan diterangi sinar bulan, Chiles melihat suatu benda mirip peluru, menuju ke arah pesawatnya dengan arah barat daya. Mereka berada 20 mil di barat Montgomery, Alabama. Dibelokkannya DC-3-nya ke kiri, dan UFO itu melintasi mereka pada jarak sekitar 200 meter. Whitted kemudian melihat benda itu berbentuk cerutu, dan tampak terbuat dari logam dan tidak bersayap, dan benda itu mempunyai "lubang-lubang jendela" yang dari dalamnya menyorotkan cahaya yang aneh. Sebuah api sepanjang 15 meter keluar dari "ekor"-nya. Ketika berada sejajar dengan DC-3 itu, benda itu berhenti dan mendadak membubung ke atas secepat kilat. DC-3 itu berguncang, seolah-olah terkena hembusan gas. Chiles pergi ke belakang, dan menemukan seorang penumpang terjaga dan merasa sangat khawatir dengan kilasan besar cahaya yang dilihatnya di luar pesawat.”[6]

Sedangkan yang terjadi pada tahun 1952 adalah sebagai berikut:
Pada tanggal 20 Juli malam ditemukan tujuh buah UFO yang melanggar ruang udara larangan di atas Gedung Putih dan Gedung Capitol di Washington, DC. Benda-benda itu dijejaki oleh radar di tiga lapangan terbang yang berbeda, dan diamati secara visual dari tanah sementara mereka berputar-putar. Sebuah pesawat tempur naik ke udara dan meluncur menuju salah satu UFO itu. Pesawat itu mendekati benda yang terang itu, dan pilotnya terdengar berteriak kaget ketika UFO itu mendadak melarikan diri dengan kecepatan luar biasa dan menghilang; pada saat yang sama bintiknya pun menghilang dari layar radar.[7]

Penampakan-penampakan mengenai UFO terus terjadi. Bahkan, peristiwa ditabraknya gedung WTC di New York (11 September 2001) juga dikaitkan dengan kehadiran UFO. Dari dua buah kamera video yang merekam peristiwa WTC itu dengan sudut yang berbeda ditemukan sebuah benda aneh berbentuk silinder, melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga sulit dianggap bahwa hal itu adalah pesawat terbang biasa.[8] 

Tentu masih banyak laporan-laporan seputar penampakan UFO namun sejauh manakah laporan-laporan itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya? Boleh jadi di sinilah awal dari keberatan-keberatan terhadapnya. Laporan-laporan dapat menjadi sangat bervariasi dalam hal keandalannya, yang dapat dinilai dari jumlah saksi, dan apakah para saksi independen satu dari yang lain, dari kondisi pengamatan (kabut, lampu dsb), dan dari arah pengamatan. Yang tipikal, saksi yang melaporkan suatu penampakan menganggap obyek itu berasal dari luar bumi, atau mungkin suatu kendaraan militer, tetapi pasti dikendalikan oleh suatu kecerdasan; kesimpulan ini biasanya didasarkan pada apa yang terlihat sebagai "terbang dalam formasi" oleh sekelompok UFO, gerak-gerak tidak alamiah yang tampak berpusat pada suatu sasaran, atau perubahan arah, terang, dan gerakan, yang mendadak dan tampak mempunyai maksud tertentu.
Mata telanjang manusia dapat menipu, bahkan menghasilkan halusinasi. Sebuah cahaya yang terang, seperti planet Venus, sering kali tampak bergerak, sekalipun sebuah teleskop yang terpancang atau suatu tiang sebagai patokan membuktikan bahwa cahaya itu tak berpindah tempat. Kesan visual tentang jarak juga sangat tidak andal, karena didasarkan atas asumsi tentang besarnya suatu benda. Pantulan dari kaca jendela atau kacamata dapat memberikan gambar yang bertumpukan. Efek optikal dapat mengubah sumber cahaya yang semula berupa titik menjadi obyek yang tampak sebagai piring. Ilusi-ilusi optikal seperti itu, disertai hasrat psikologis untuk menafsirkan gambar-gambar visual itu, diketahui dapat menjelaskan banyak laporan UFO. Penampakan radar, yang lebih andal dalam hal-hal tertentu, tidak dapat membedakan antara obyek fisik dan jejak meteor, jejak awan gas yang terionisasi, hujan, atau diskontinuitas suhu. Lagipula, ada beberapa efek yang dapat memberikan gema radar palsu: interferensi elektronik, pantulan dari lapisan-lapisan terionisasi atau awan, atau pantulan dari daerah-daerah lembab, seperti awan cumulus. Bahkan "kejadian kontak" -- yang disertai laporan kegiatan di samping penampakan -- didapati paling banyak menyangkut mimpi atau halusinasi; keandalan laporan seperti itu sangat tergantung pada apakah ada dua atau lebih saksi yang independen.[9]

 

Pertanggungjawaban terhadap adanya UFO

Boleh jadi, topik pembicaraan mengenai “ada-tidaknya” UFO masih tetap menjadi bahan diskusi yang menarik. Namun, pada bagian ini bukanlah saatnya untuk masih mempertahankan hipotesis di atas melainkan mengajukan pertanyaan lain, yakni bagaimana fenomena UFO itu mau dijelaskan secara ilmiah? Dari keseluruhan laporan penampakan, umumnya hanya 10% saja yang tidak dapat dijelaskan atau dikenali melalui penyelidikan yang sangat serius. Sementara sisanya 90% dapat dijelaskan sebagai suatu fenomena alam atau hanya benda buatan manusia.
            Saya masih akan melanjutkan pembahasan mengenai pertanggungjawaban kebenaran mengenai UFO itu lebih jauh. Bahkan, sekarang dapat diajukan sebuah pertanyaan epistemologis, yakni “Sejauh manakah pengetahuan mengenai UFO itu dapat dipertanggungjawabkan?” 
            Andre Kole di dalam Mind Games[10] mengungkapkan empat prinsip yang dapat diambil untuk mempermudah kerja setiap peneliti dalam menetapkan suatu kebenaran. Pertama, kita harus berpegang pada bukti nyata. Melalui ufologi, kita diajak untuk meyakini (1) bahwa ada makhluk cerdas yang hidup di planet lain, (2) bahwa mereka dengan suatu cara berhasil mencapai bumi dalam penjelajahan luar angkasa, dan (3) bahwa secara berkala mereka mengunjungi kita dalam pesawat luar angkasa yang menyangkal segala hukum fisika. Namun, agar kita dapat meyakini hal itu sebagai kebenaran, sekali lagi harus ada bukti-bukti nyata yang ditawarkan.
            Kedua, masih berhubungan dengan yang pertama, jika hal itu benar, menurut Andre, maka harus ada buktinya. Ufologi dengan cepat menunjukkan bahwa empat puluh persen orang Amerika percaya bahwa UFO memang benar-benar nyata. Namun, hal ini tidak penting sebab yang terpenting sekarang adalah bahwa terdapat bukti yang tidak dapat disanggah bahwa hal itu adalah benar. Di masa lalu sembilan puluh persen penduduk Eropa percaya bahwa dunia itu datar, namun keyakinan mereka yang salah itu tidak mengubah fakta bila akhirnya ditemukan bahwa dunia itu bulat.
            Bagi orang yang percaya akan adanya UFO, mereka harus membuktikan keyakinan itu. Lebih jauh, mereka harus membuktikan hal yang melampaui keragu-raguan yang masuk akal itu dengan menggunakan bukti secara langsung.
            Ketiga, bukti itu harus merupakan bukti langsung dan relatif masih baru. Bagi Andre, kesulitan yang sering muncul kembali dalam membicarakan hal ini adalah bahwa peneliti hampir-hampir tidak dapat berbicara dengan seseorang yang menyaksikan UFO secara langsung. Percakapan yang terjadi biasanya seperti berikut, “Yah, sebenarnya saya tidak benar-benar melihatnya sendiri...tetapi jika anda berbicara dengan orang ini, akan akan memperoleh kebenaran.” Pada akhirnya pembicaraan ini membuat para peneliti menarik kesimpulan bahwa banyak cerita mengenai UFO hanyalah suatu legenda. Interpretasi moderen mengenai kejadian-kejadian historis yang membingungkan ini sangat tidak dapat dikualifikasikan sebagai “bukti” atau minimal ditelusuri dan diverifikasi.
            Selanjutnya, yang keempat, bukti itu harus masuk akal bagi peneliti. Untuk ini Andre Kole menggunakan prinsip pisau cukur Okham: jika berhadapan dengan beberapa deretan penjelasan, pilihlah yang paling sederhana yang mencakup semua fakta yang telah diketahui. Jika benar bahwa banyak orang mengaku telah melihat obyek di langit yang tidak dapat mereka jelaskan, maka benar juga bahwa orang-orang tersebut telah membuat kesalahan dalam pengamatan dan ide-ide yang telah ada dalam pikiran mereka dapat mempengaruhi observasi mereka.
Sebagai contoh, Andre Kole menggunakan peristiwa  pada tanggal 22 April 1987 sebagai bukti. Ketika itu, sebuah penerbangan British Airways dari London ke Bangkok berpapasan dengan sebuah obyek terang yang memancarkan cahaya. Ada lima saksi dan masing-masing mengambarkan peristiwa penampakan ini dengan lima cara yang berbeda-beda. Dari sini dapatkah ditarik sebuah penjelasan yang paling sederhana yakni bahwa sebagian besar penampakan dapat dijelaskan. Akan tetapi perjumpaan dengan UFO pada umumnya telah terbukti merupakan kesalahan atau bisa juga merupakan tipuan.

Blaise Pascal: “Pertaruhan Hidup Manusia”, UFO, dan Allah

           
Di dalam Filsafat Agama Kristiani[11], Nico Syukur Dister menjelaskan mengenai pandangan Blaise Pascal (bab V “Intuisi Sanubari”). Salah satunya adalah mengenai “pertaruhan hidup manusia”.[12] Bagian ini mau menjelaskan bagaimana sikap manusia ketika berhadapan dengan pertanyaan mengenai “ada-tidaknya” Allah.
Apakah Allah ada atau tidak? Menurut Pascal, akal budi tidak dapat mengambil keputusan dalam hal ini sebab kedua-duanya tidak dapat dibuktikan. Namun, manusia harus memilih antara percaya atau tidak. Oleh karena itu, manusia mau tidak mau harus bertaruh. Dalam pertaruhan itu pertama-tama harus disadari apa kepentingan manusia, yaitu kebahagiaan sejati. Sedangkan yang dipertaruhkan adalah keselamatan manusia. Pascal di dalam pertaruhan ini mengusulkan untuk memilih adanya Allah. Sebab, kita tidak akan dirugikan pun seandainya Allah itu terbukti tidak ada. Kita tidak akan kehilangan keselamatan seandainya Allah itu tidak ada. Namun, bukan sebaliknya.
Walaupun argumen “pertaruhan” di atas diarahkan untuk memahami Allah namun melalui analogi yang “sama”[13] saya akan mengenakannya di dalam memahami UFO. Maksudnya, bahwa di dalam “pertaruhan” mengenai UFO, saya cenderung untuk memilih UFO sebagai “yang ada”. Pun bila memang seandainya UFO itu tidak ada, saya sama sekali tidak akan dirugikan.
Lagipula kesadaran akan keberadaan UFO itu justru akan membuka mata kita (manusia), sebagai makhluk di bumi, dengan lebih lebar. Bahwa ternyata, ada makhluk hidup lain, entah di luar planet Bumi maupun di luar galaksi Bimasakti yang mirip dengan manusia. Dengan merujuk kepada teori kreasionisme maka kehadiran UFO akan membuktikan bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk hidup “yang tertinggi” di alam semesta ini.
            Kesadaran akan adanya makhluk hidup “yang lain” juga akan memperkaya kesadaran akan Sang Pencipta, yakni Allah sendiri. Allah itu bukan hanya Allah bagi makhluk di bumi. Ia juga bukan hanya pantas dimiliki oleh makhluk di bumi namun juga sebagai “Zat Tunggal” di alam semesta ini. Allah adalah sosok misteri yang jauh melampaui kemampuan manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya untuk memikirkannya. Dengan kata lain, Allah yang kita yakini dalam arti tertentu bukanlah Allah yang sesungguhnya. Boleh jadi Allah yang sesungguhnya justru adalah Allah yang tidak saya imani.
Selama ini manusia hanya memahami Allah berdasar keyakinan iman tertentu. Di sini dapatlah diajukan pertanyaan berikut, “Benarkah sosok itu adalah Allah yang sesungguhnya?” Jangan-jangan kita telah “memaksa” kehadiran Allah ke dalam kerangka pikir yang telah kita tetapkan sendiri.
Lalu, bagaimana dengan agama? Agama, dengan kehadiran UFO dan kesadaran akan adanya makhluk hidup “yang lain”, merupakan salah satu saja cara di dalam memahami Allah. Dengan demikian sains juga dapat menjadi pintu masuk lain di dalam memahami Allah.   

Penutup
           
Dapatkah alam semesta sepenuhnya dipahami?
Keith Ward di dalam Dan Tuhan tidak Bermain Dadu[14] mengungkapkan bahwa kebanyakan kaum teis akan berkeberatan pada penegasan mengenai segala sesuatu yang dapat dipahami melalui pikiran manusia. Realitas, bagi seorang teis, secara intrinsik dapat dipahami, namun hanya dapat dipahami secara utuh oleh akal yang maha sempurna dari Tuhan. Namun, bukan berarti bila kemudian kaum teis berkata, “Jangan coba-coba memahami hal ini, ini pengetahuan terlarang” di hadapan para ilmuwan melainkan seharusnya berkata, “Tuhan telah menciptakan kamu untuk memahami dan menghormati ciptaan-Nya, karena itu carilah kebenaran dengan sekuat tenagamu.” Dalam pergulatan demikian, akan selalu ada tempat bagi misteri, bagi sesuatu yang melampaui analisis intelektual; dorongan pemahaman yang melampaui kemampuan berpikir yang terbatas dan abstrak.
Akhirnya, tampak jelas bahwa mungkin ada banyak semesta, artinya ruang-waktu terbatas, dan bentuk-bentuk eksistensi selain yang ada dalam ruang-waktu ini. Jika Allah tidak terbatas, dapat ditebak ada banyak hal yang harus dipahami sebelum segalanya dapat dimengerti. Tak mungkin ada cara ketika kita dapat memperoleh pengetahuan tentang semesta lain (karena, per definisi, semesta lain itu tidak memiliki kaitan spasial maupun temporal dengan kita, yang berarti menutup segala bentuk pengetahuan) dan tidak mungkin ada cara ketika pikiran manusia yang terbatas mampu melingkupi sekelompok data yang tak terbatas. Jadi, tampaknya, setelah semua pertimbangan itu, jika segala hal mau dipahami, hanya Allah sendirilah yang mampu memahaminya.[15]

Daftar Pustaka


----------------, “Video merekam UFO saat pesawat menabrak Gedung WTC”, Info-Ufo (Nomor 10, Tahun I), Surabaya: Yayasan Info-Ufo.
----------------, “Menetapkan Kebenaran Laporan Penampakan UFO”, Info-Ufo (Nomor 10, Tahun I), Surabaya: Yayasan Info-Ufo.
Dister, Nico Syukur, “Intuisi Sanubari”, Filsafat Agama Kristiani, Yogyakarta: Kanisius, 1985. Ward, Keith, Dan Tuhan tidak Bermain Dadu (terj: Larasmoyo), Bandung: Mizan, 2002.



--- 000 ---




[1] Tulisan ini dibuat saat penulis masih berstatus sebagai mahasiswa jurusan Filsafat Sosial pada Sekolah Tinggi Filsafat “Driyarkara”, Jakarta, yang secara khusus dipersembahkan dalam rangka lomba Essay “Alien dan UFO” yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.  Penulis kemudian melanjutkan studi di pasca sarjana jurusan teologi pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan saat ini penulis telah ditahbiskan menjadi Romo SJ yang bertugas di Makau.
[2] Informasi mengenai UFO ini saya dapatkan dari http://www.betaufo.org/apakah.html
[3] Informasi lebih lanjut mengenai peristiwa ini dapat dilihat di http://www.betaufo.org/ency2.html
[4] Informasi lebih lanjut mengenai masalah UFO di Forum PBB dapat dilihat di http://www.betaufo.org/apakah.html
[6] Berita mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 1948 itu saya peroleh dari http://www.betaufo.org/ency2.html
[7] Berita mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 1952 itu saya peroleh dari http://www.betaufo.org/ency2.html
[8] “Video merekam UFO saat pesawat menabrak Gedung WTC”, Info-Ufo (Nomor 10, Tahun I), hlm. 7.
[9] Uraian mengenai hal ini dapat ditemukan pada http://www.betaufo.org/ency1.html
[10] Uraian selanjutnya mengenai buku ini saya sarikan dari “Menetapkan Kebenaran Laporan Penampakan UFO”, Info-Ufo (Nomor 10, Tahun I), hlm. 33-35 dan saya sampaikan ke dalam lima alinea berikutnya.
[11] Nico Syukur Dister, “Intuisi Sanubari”, Filsafat Agama Kristiani, Yogyakarta: Kanisius, 1985, hlm. 136-168.
[12] Istilah yang dipergunakan sebenarnya hanya “pertaruhan” namun bila melihat keseluruhan isi pandangan Blaise Pascal di dalam bagian ini, saya lebih tertarik untuk memberi tambahan menjadi “pertaruhan hidup manusia” (Nico Syukur Dister, “Intuisi Sanubari”, Filsafat Agama Kristiani, Yogyakarta: Kanisius, 1985, hlm. 159-160).
[13] Saya sadar bahwa kerangka yang digunakan Blaise Pascal di atas adalah dikhususkan untuk mempertanyakan eksistensi Allah dan meskipun demikian saya mempergunakan kerangka itu di dalam memahami fenomena UFO. Singkat kata, misteri Allah tentu tidak dapat dibandingkan begitu saja dengan misteri UFO.
[14] Keith Ward, Dan Tuhan tidak Bermain Dadu (terj: Larasmoyo), Bandung: Mizan, 2002, hlm. 53.
[15] Keith Ward, ibid, hlm. 61. 

Popular Posts