UFO: Menguak Tabir, Membelah Makna
-sebuah cara memahami Allah-
oleh : Haryanto Soedjatmiko[1]
“Sampai beberapa waktu yang lalu, orang dapat
menganggap manusia sebagai pusat alam semesta, dengan kedudukan bumi itu dalam
sistem matahari. Sekarang kita tahu di mana kedudukan bumi itu, dan bahwa
sebenarnya terdapat ratusan milyar matahari dalam bimasakti kita, dan ratusan
milyar galaksi di luar batas-batas kemampuan teleskop yang terbesar. Tak pernah
lagi martabat manusia serta tanggung jawabnya dapat didasarkan atas sifatnya
yang sentral dan mikroskopis” (terjemahan dari Oppenheimer, 1953, 83)
Pendahuluan
“Bagaimanakah pemahaman akan UFO
dapat dijelaskan?” Pertanyaan ini secara spontan muncul dalam diri saya ketika
membaca pengumuman lomba essay “Alien dan UFO” di kampus STF Driyarkara.
Lagipula wacana seputar hal ini sama sekali tidak pernah disinggung dalam
bangku perkuliahan. Maka, proses yang terjadi selama mempersiapkan sampai
dengan kemudian menjadi sebuah tulisan menjadi hal yang menantang.
Tulisan ini dibagi dalam tiga bagian. Pertama, akan
dibicarakan secara singkat mengenai
definisi UFO dan kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan pandangan yang
mendukung dan menentang eksistensi UFO. Pada bagian kedua, pandangan mengenai
adanya UFO akan ditelaah lebih lanjut dengan meminta pertanggungjawaban dari
Andre Kole, seorang penulis Mind Games. Selanjutnya, ketiga, pembicaraan
mengenai UFO akan diletakkan di dalam pemikiran Blaise Pascal mengenai
“pertaruhan hidup manusia”. Di situ juga akan disampaikan bagaimana ternyata
dengan mengakui adanya makhluk lain di luar angkasa akhirnya kita akan sampai
kepada pemahaman akan Allah. Tulisan ini akan ditutup dengan sebuah pandangan
singkat .
Menguak Tabir UFO
a. Definisi Singkat[2]
UFO adalah singkatan dari Unidentified
Flying Object, yang artinya benda terbang tak dikenal atau “Benda Terbang
Aneh” (BETA ). Istilah BETA dipergunakan oleh Marsekal Muda TNI (purn) J.
Salatun, seorang penyelidik UFO senior Indonesia . UFO tidak harus
merupakan sebuah pesawat luar angkasa, namun termasuk segala sesuatu yang
terlihat di angkasa dan tak dapat dijelaskan.
Ilmu yang menyelidiki fenomena
tentang UFO dinamakan Ufologi, sementara orang yang melakukan penyelidikan
mengenai UFO disebut Ufolog. Makhluk yang membawa UFO disebut sebagai Ufonaut
dan umumnya lebih sering disebut dengan istilah: E.T. atau ALF (Alien Life
Form). E.T. adalah singkatan dari Extra Terrestrial, yang artinya
berasal dari luar bumi. Karena ada teori yang mengatakan bahwa makhluk UFO bisa
saja berasal dari bumi (dari dalam bumi atau dasar laut), maka penggunaan
istilah “alien” lebih sering digunakan daripada E.T. Sedangkan
penggunaan istilah “Piring Terbang” pertama kali digunakan oleh pilot Kenneth
Arnold yang melihat sembilan obyek terbang aneh dalam suatu formasi di atas
gunung Rainier, pegunungan Cascade, Washington. Peristiwa itu terjadi pada
tanggal 24 Juni 1947.[3]
Sejak itu, masalah UFO banyak dibicarakan orang.
b. Disputasi pro dan kontra
Pembicaraan mengenai UFO bukanlah
sebuah hal yang baru. Artinya, permasalahan itu pernah diperbincangkan banyak
orang. Salah satu di antaranya adalah ketika permasalahan UFO ini diangkat di
dalam forum PBB pada tanggal 27 Nopember 1978.[4]
Pada hari itu masalah UFO dibicarakan di dalam Komite Politik Khusus dari
Majelis Umum PBB dalam sidangnya yang ke-33, dengan mata acara no. 126 yang
berbunyi: Pembentukan suatu badan atau bagian dari PBB untuk melakukan,
mengkordinasikan dan menyebarluaskan hasil penelitian UFO dan gejala-gejala
yang bertalian. Dengan demikian masalah UFO yang kontroversial itu, yang
sebelumnya telah 31 tahun lamanya menjadi pemberitaan dunia, akhirnya menjadi
pembicaraan resmi di forum PBB.
Apakah
UFO itu benar-benar ada? Tidak mudah dikatakan. Sebab, dengan seseorang
menjawab “ya” atau “tidak”, misalnya, berarti ia akan dikenakan sejumlah
pertanyaan lanjutan untuk mempertanggungjawabkan jawab yang telah diberikan.
Maka, selanjutnya, akan disampaikan dua pandangan umum mengenai UFO, yakni yang
mendukung (pro) dan yang menentang (kontra).
Untuk menyampaikan pandangan yang pertama (pro), saya akan
mendasarkan diri pada beberapa sumber yang menyebutkan adanya
penampakan-penampakan seputar UFO. Di dalam encyclopedia of the unexplained
(1974)[5]
disebutkan tentang adanya puncak-puncak kegiatan yang tampak pada tahun 1947,
1948, 1950, dan yang sangat penting adalah pada tahun 1952. Menurut ensiklopedi
tersebut, laporan penampakan datang dari perorangan dari berbagai lapisan
pekerjaan dan khususnya dari para pilot pesawat terbang. Salah satu di
antaranya adalah sebuah laporan yang dibuat oleh Kapten Clarence S Chiles
bersama kopilotnya, John B Whitted, dari sebuah DC-3 (Dakota) Eastern Airlines:
“Pada pukul 2:45
dini hari pada 23 Juli 1948, pada cuaca malam yang cerah tanpa awan diterangi
sinar bulan, Chiles
melihat suatu benda mirip peluru, menuju ke arah pesawatnya dengan arah barat
daya. Mereka berada 20 mil di barat Montgomery ,
Alabama . Dibelokkannya DC-3-nya
ke kiri, dan UFO itu melintasi mereka pada jarak sekitar 200 meter. Whitted
kemudian melihat benda itu berbentuk cerutu, dan tampak terbuat dari logam dan
tidak bersayap, dan benda itu mempunyai "lubang-lubang jendela" yang
dari dalamnya menyorotkan cahaya yang aneh. Sebuah api sepanjang 15 meter
keluar dari "ekor"-nya. Ketika berada sejajar dengan DC-3 itu, benda
itu berhenti dan mendadak membubung ke atas secepat kilat. DC-3 itu berguncang,
seolah-olah terkena hembusan gas. Chiles pergi ke belakang, dan
menemukan seorang penumpang terjaga dan merasa sangat khawatir dengan kilasan
besar cahaya yang dilihatnya di luar pesawat.”[6]
Sedangkan
yang terjadi pada tahun 1952 adalah sebagai berikut:
Pada tanggal 20 Juli malam ditemukan tujuh buah UFO yang
melanggar ruang udara larangan di atas Gedung Putih dan Gedung Capitol di
Washington, DC. Benda-benda itu dijejaki oleh radar di tiga lapangan terbang
yang berbeda, dan diamati secara visual dari tanah sementara mereka
berputar-putar. Sebuah pesawat tempur naik ke udara dan meluncur menuju salah
satu UFO itu. Pesawat itu mendekati benda yang terang itu, dan pilotnya terdengar
berteriak kaget ketika UFO itu mendadak melarikan diri dengan kecepatan luar
biasa dan menghilang; pada saat yang sama bintiknya pun menghilang dari layar
radar.[7]
Penampakan-penampakan
mengenai UFO terus terjadi. Bahkan, peristiwa ditabraknya gedung WTC di New York (11 September 2001 ) juga
dikaitkan dengan kehadiran UFO. Dari dua buah kamera video yang merekam
peristiwa WTC itu dengan sudut yang berbeda ditemukan sebuah benda aneh
berbentuk silinder, melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga sulit
dianggap bahwa hal itu adalah pesawat terbang biasa.[8]
Tentu masih banyak laporan-laporan seputar penampakan
UFO namun sejauh manakah laporan-laporan itu dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya? Boleh jadi di sinilah awal dari keberatan-keberatan terhadapnya.
Laporan-laporan dapat menjadi sangat bervariasi dalam hal keandalannya, yang
dapat dinilai dari jumlah saksi, dan apakah para saksi independen satu dari
yang lain, dari kondisi pengamatan (kabut, lampu dsb), dan dari arah
pengamatan. Yang tipikal, saksi yang melaporkan suatu penampakan menganggap
obyek itu berasal dari luar bumi, atau mungkin suatu kendaraan militer, tetapi
pasti dikendalikan oleh suatu kecerdasan; kesimpulan ini biasanya didasarkan
pada apa yang terlihat sebagai "terbang dalam formasi" oleh
sekelompok UFO, gerak-gerak tidak alamiah yang tampak berpusat pada suatu
sasaran, atau perubahan arah, terang, dan gerakan, yang mendadak dan tampak
mempunyai maksud tertentu.
Mata telanjang manusia dapat menipu, bahkan
menghasilkan halusinasi. Sebuah cahaya yang terang, seperti planet Venus,
sering kali tampak bergerak, sekalipun sebuah teleskop yang terpancang atau
suatu tiang sebagai patokan membuktikan bahwa cahaya itu tak berpindah tempat.
Kesan visual tentang jarak juga sangat tidak andal, karena didasarkan atas
asumsi tentang besarnya suatu benda. Pantulan dari kaca jendela atau kacamata
dapat memberikan gambar yang bertumpukan. Efek optikal dapat mengubah sumber
cahaya yang semula berupa titik menjadi obyek yang tampak sebagai piring.
Ilusi-ilusi optikal seperti itu, disertai hasrat psikologis untuk menafsirkan
gambar-gambar visual itu, diketahui dapat menjelaskan banyak laporan UFO.
Penampakan radar, yang lebih andal dalam hal-hal tertentu, tidak dapat
membedakan antara obyek fisik dan jejak meteor, jejak awan gas yang
terionisasi, hujan, atau diskontinuitas suhu. Lagipula, ada beberapa efek yang
dapat memberikan gema radar palsu: interferensi elektronik, pantulan dari
lapisan-lapisan terionisasi atau awan, atau pantulan dari daerah-daerah lembab,
seperti awan cumulus. Bahkan "kejadian kontak" -- yang disertai
laporan kegiatan di samping penampakan -- didapati paling banyak menyangkut
mimpi atau halusinasi; keandalan laporan seperti itu sangat tergantung pada
apakah ada dua atau lebih saksi yang independen.[9]
Pertanggungjawaban terhadap adanya
UFO
Boleh jadi, topik pembicaraan mengenai “ada-tidaknya”
UFO masih tetap menjadi bahan diskusi yang menarik. Namun, pada bagian ini
bukanlah saatnya untuk masih mempertahankan hipotesis di atas melainkan
mengajukan pertanyaan lain, yakni bagaimana fenomena UFO itu mau dijelaskan
secara ilmiah? Dari keseluruhan laporan penampakan, umumnya hanya 10% saja yang
tidak dapat dijelaskan atau dikenali melalui penyelidikan yang sangat serius.
Sementara sisanya 90% dapat dijelaskan sebagai suatu fenomena alam atau hanya
benda buatan manusia.
Saya masih akan melanjutkan
pembahasan mengenai pertanggungjawaban kebenaran mengenai UFO itu lebih jauh.
Bahkan, sekarang dapat diajukan sebuah pertanyaan epistemologis, yakni “Sejauh
manakah pengetahuan mengenai UFO itu dapat dipertanggungjawabkan?”
Andre
Kole di dalam Mind Games[10]
mengungkapkan empat prinsip yang dapat diambil untuk mempermudah kerja setiap
peneliti dalam menetapkan suatu kebenaran. Pertama, kita harus berpegang pada
bukti nyata. Melalui ufologi, kita diajak untuk meyakini (1) bahwa ada makhluk
cerdas yang hidup di planet lain, (2) bahwa mereka dengan suatu cara berhasil
mencapai bumi dalam penjelajahan luar angkasa, dan (3) bahwa secara berkala
mereka mengunjungi kita dalam pesawat luar angkasa yang menyangkal segala hukum
fisika. Namun, agar kita dapat meyakini hal itu sebagai kebenaran, sekali lagi
harus ada bukti-bukti nyata yang ditawarkan.
Kedua,
masih berhubungan dengan yang pertama, jika hal itu benar, menurut Andre, maka
harus ada buktinya. Ufologi dengan cepat menunjukkan bahwa empat puluh persen
orang Amerika percaya bahwa UFO memang benar-benar nyata. Namun, hal ini tidak
penting sebab yang terpenting sekarang adalah bahwa terdapat bukti yang tidak
dapat disanggah bahwa hal itu adalah benar. Di masa lalu sembilan puluh persen
penduduk Eropa percaya bahwa dunia itu datar, namun keyakinan mereka yang salah
itu tidak mengubah fakta bila akhirnya ditemukan bahwa dunia itu bulat.
Bagi
orang yang percaya akan adanya UFO, mereka harus membuktikan keyakinan itu.
Lebih jauh, mereka harus membuktikan hal yang melampaui keragu-raguan yang
masuk akal itu dengan menggunakan bukti secara langsung.
Ketiga,
bukti itu harus merupakan bukti langsung dan relatif masih baru. Bagi Andre,
kesulitan yang sering muncul kembali dalam membicarakan hal ini adalah bahwa
peneliti hampir-hampir tidak dapat berbicara dengan seseorang yang menyaksikan
UFO secara langsung. Percakapan yang terjadi biasanya seperti berikut, “Yah,
sebenarnya saya tidak benar-benar melihatnya sendiri...tetapi jika anda
berbicara dengan orang ini, akan akan memperoleh kebenaran.” Pada akhirnya
pembicaraan ini membuat para peneliti menarik kesimpulan bahwa banyak cerita
mengenai UFO hanyalah suatu legenda. Interpretasi moderen mengenai
kejadian-kejadian historis yang membingungkan ini sangat tidak dapat
dikualifikasikan sebagai “bukti” atau minimal ditelusuri dan diverifikasi.
Selanjutnya,
yang keempat, bukti itu harus masuk akal bagi peneliti. Untuk ini Andre Kole
menggunakan prinsip pisau cukur Okham: jika berhadapan dengan beberapa deretan
penjelasan, pilihlah yang paling sederhana yang mencakup semua fakta yang telah
diketahui. Jika benar bahwa banyak orang mengaku telah melihat obyek di langit
yang tidak dapat mereka jelaskan, maka benar juga bahwa orang-orang tersebut
telah membuat kesalahan dalam pengamatan dan ide-ide yang telah ada dalam
pikiran mereka dapat mempengaruhi observasi mereka.
Sebagai contoh, Andre Kole
menggunakan peristiwa pada tanggal 22
April 1987 sebagai bukti. Ketika itu, sebuah penerbangan British Airways dari London ke Bangkok berpapasan dengan
sebuah obyek terang yang memancarkan cahaya. Ada lima
saksi dan masing-masing mengambarkan peristiwa penampakan ini dengan lima cara yang
berbeda-beda. Dari sini dapatkah ditarik sebuah penjelasan yang paling
sederhana yakni bahwa sebagian besar penampakan dapat dijelaskan. Akan tetapi
perjumpaan dengan UFO pada umumnya telah terbukti merupakan kesalahan atau bisa
juga merupakan tipuan.
Blaise
Pascal: “Pertaruhan Hidup Manusia”, UFO, dan Allah
Di dalam Filsafat Agama Kristiani[11],
Nico Syukur Dister menjelaskan mengenai pandangan Blaise Pascal (bab V
“Intuisi Sanubari”). Salah satunya adalah mengenai “pertaruhan hidup manusia”.[12]
Bagian ini mau menjelaskan bagaimana sikap manusia ketika berhadapan dengan
pertanyaan mengenai “ada-tidaknya” Allah.
Apakah Allah ada atau tidak? Menurut
Pascal, akal budi tidak dapat mengambil keputusan dalam hal ini sebab
kedua-duanya tidak dapat dibuktikan. Namun, manusia harus memilih antara
percaya atau tidak. Oleh karena itu, manusia mau tidak mau harus bertaruh.
Dalam pertaruhan itu pertama-tama harus disadari apa kepentingan manusia, yaitu
kebahagiaan sejati. Sedangkan yang dipertaruhkan adalah keselamatan manusia.
Pascal di dalam pertaruhan ini mengusulkan untuk memilih adanya Allah. Sebab,
kita tidak akan dirugikan pun seandainya Allah itu terbukti tidak ada. Kita
tidak akan kehilangan keselamatan seandainya Allah itu tidak ada. Namun, bukan
sebaliknya.
Walaupun argumen “pertaruhan” di atas
diarahkan untuk memahami Allah namun melalui analogi yang “sama”[13]
saya akan mengenakannya di dalam memahami UFO. Maksudnya, bahwa di dalam
“pertaruhan” mengenai UFO, saya cenderung untuk memilih UFO sebagai “yang ada”.
Pun bila memang seandainya UFO itu tidak ada, saya sama sekali tidak akan
dirugikan.
Lagipula kesadaran akan keberadaan
UFO itu justru akan membuka mata kita (manusia), sebagai makhluk di bumi,
dengan lebih lebar. Bahwa ternyata, ada makhluk hidup lain, entah di luar
planet Bumi maupun di luar galaksi Bimasakti yang mirip dengan manusia. Dengan
merujuk kepada teori kreasionisme maka kehadiran UFO akan membuktikan bahwa
manusia bukanlah satu-satunya makhluk hidup “yang tertinggi” di alam semesta
ini.
Kesadaran
akan adanya makhluk hidup “yang lain” juga akan memperkaya kesadaran akan Sang
Pencipta, yakni Allah sendiri. Allah itu bukan hanya Allah bagi makhluk di
bumi. Ia juga bukan hanya pantas dimiliki oleh makhluk di bumi namun juga sebagai
“Zat Tunggal” di alam semesta ini. Allah adalah sosok misteri yang jauh
melampaui kemampuan manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya untuk
memikirkannya. Dengan kata lain, Allah yang kita yakini dalam arti tertentu
bukanlah Allah yang sesungguhnya. Boleh jadi Allah yang sesungguhnya justru
adalah Allah yang tidak saya imani.
Selama ini manusia hanya memahami
Allah berdasar keyakinan iman tertentu. Di sini dapatlah diajukan pertanyaan
berikut, “Benarkah sosok itu adalah Allah yang sesungguhnya?” Jangan-jangan
kita telah “memaksa” kehadiran Allah ke dalam kerangka pikir yang telah kita
tetapkan sendiri.
Lalu, bagaimana dengan agama? Agama,
dengan kehadiran UFO dan kesadaran akan adanya makhluk hidup “yang lain”,
merupakan salah satu saja cara di dalam memahami Allah. Dengan demikian sains
juga dapat menjadi pintu masuk lain di dalam memahami Allah.
Penutup
Dapatkah alam semesta sepenuhnya
dipahami?
Keith Ward di dalam Dan Tuhan
tidak Bermain Dadu[14]
mengungkapkan bahwa kebanyakan kaum teis akan berkeberatan pada penegasan
mengenai segala sesuatu yang dapat dipahami melalui pikiran manusia. Realitas,
bagi seorang teis, secara intrinsik dapat dipahami, namun hanya dapat dipahami
secara utuh oleh akal yang maha sempurna dari Tuhan. Namun, bukan berarti bila
kemudian kaum teis berkata, “Jangan coba-coba memahami hal ini, ini pengetahuan
terlarang” di hadapan para ilmuwan melainkan seharusnya berkata, “Tuhan telah
menciptakan kamu untuk memahami dan menghormati ciptaan-Nya, karena itu carilah
kebenaran dengan sekuat tenagamu.” Dalam pergulatan demikian, akan selalu ada
tempat bagi misteri, bagi sesuatu yang melampaui analisis intelektual; dorongan
pemahaman yang melampaui kemampuan berpikir yang terbatas dan abstrak.
Akhirnya, tampak jelas bahwa mungkin
ada banyak semesta, artinya ruang-waktu terbatas, dan bentuk-bentuk eksistensi
selain yang ada dalam ruang-waktu ini. Jika Allah tidak terbatas, dapat ditebak
ada banyak hal yang harus dipahami sebelum segalanya dapat dimengerti. Tak
mungkin ada cara ketika kita dapat memperoleh pengetahuan tentang semesta lain
(karena, per definisi, semesta lain itu tidak memiliki kaitan spasial maupun
temporal dengan kita, yang berarti menutup segala bentuk pengetahuan) dan tidak
mungkin ada cara ketika pikiran manusia yang terbatas mampu melingkupi
sekelompok data yang tak terbatas. Jadi, tampaknya, setelah semua pertimbangan
itu, jika segala hal mau dipahami, hanya Allah sendirilah yang mampu
memahaminya.[15]
Daftar
Pustaka
----------------, “Video merekam UFO saat pesawat menabrak
Gedung WTC”, Info-Ufo (Nomor 10, Tahun I), Surabaya : Yayasan Info-Ufo.
----------------, “Menetapkan Kebenaran Laporan Penampakan
UFO”, Info-Ufo (Nomor 10, Tahun I), Surabaya : Yayasan Info-Ufo.
Dister,
Nico Syukur, “Intuisi Sanubari”, Filsafat Agama Kristiani, Yogyakarta : Kanisius, 1985. Ward, Keith, Dan Tuhan
tidak Bermain Dadu (terj: Larasmoyo), Bandung :
Mizan, 2002.
--- 000 ---
[1] Tulisan
ini dibuat saat penulis masih berstatus sebagai mahasiswa jurusan Filsafat
Sosial pada Sekolah Tinggi Filsafat “Driyarkara”,
Jakarta, yang secara khusus dipersembahkan dalam rangka lomba Essay “Alien dan
UFO” yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Penulis kemudian melanjutkan studi di pasca sarjana
jurusan teologi pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan saat ini penulis telah ditahbiskan menjadi Romo SJ yang bertugas di Makau.
[2]
Informasi mengenai UFO ini saya dapatkan dari http://www.betaufo.org/apakah.html
[3]
Informasi lebih lanjut mengenai peristiwa ini dapat dilihat di http://www.betaufo.org/ency2.html
[4]
Informasi lebih lanjut mengenai masalah UFO di Forum PBB dapat dilihat di http://www.betaufo.org/apakah.html
[6]
Berita mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 1948 itu saya peroleh dari http://www.betaufo.org/ency2.html
[7]
Berita mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 1952 itu saya peroleh dari http://www.betaufo.org/ency2.html
[8]
“Video merekam UFO saat pesawat menabrak Gedung WTC”, Info-Ufo (Nomor
10, Tahun I), hlm. 7.
[9]
Uraian mengenai hal ini dapat ditemukan pada http://www.betaufo.org/ency1.html
[10]
Uraian selanjutnya mengenai buku ini saya sarikan dari “Menetapkan Kebenaran
Laporan Penampakan UFO”, Info-Ufo (Nomor 10, Tahun I), hlm. 33-35 dan
saya sampaikan ke dalam lima
alinea berikutnya.
[11]
Nico Syukur Dister, “Intuisi Sanubari”, Filsafat Agama Kristiani, Yogyakarta : Kanisius, 1985, hlm. 136-168.
[12]
Istilah yang dipergunakan sebenarnya hanya “pertaruhan” namun bila melihat
keseluruhan isi pandangan Blaise Pascal di dalam bagian ini, saya lebih
tertarik untuk memberi tambahan menjadi “pertaruhan hidup manusia” (Nico Syukur
Dister, “Intuisi Sanubari”, Filsafat Agama Kristiani, Yogyakarta:
Kanisius, 1985, hlm. 159-160).
[13]
Saya sadar bahwa kerangka yang digunakan Blaise Pascal di atas adalah
dikhususkan untuk mempertanyakan eksistensi Allah dan meskipun demikian saya
mempergunakan kerangka itu di dalam memahami fenomena UFO. Singkat kata,
misteri Allah tentu tidak dapat dibandingkan begitu saja dengan misteri UFO.
[14]
Keith Ward, Dan Tuhan tidak Bermain Dadu (terj: Larasmoyo), Bandung : Mizan, 2002,
hlm. 53.
[15] Keith
Ward, ibid, hlm. 61.